Source here |
Kita Muslim di Indonesia benar-benar beruntung karena menjadi mayoritas di negara sendiri. Saat isu Islamophobia menyeruak di media asing, kita tidak banyak terpengaruh.
Tapi
pernahkah kita berpikir bagaimana rasanya bila kita yang menjadi target
Islamophobia atau Perbedaan-phobia lainnya?
Saya
berkunjung ke Korea awal tahun 2015 saat isu ISIS sedang panas-panasnya. Saat
itu Host saya sempat melontarkan kekhawatirannya karena saya berhijab dan
menyarankan untuk dicopot saja saat berjalan-jalan sendirian demi keamanan
(silahkan baca cerita lengkapnya disini) meski alhamdulillah tidak terjadi hal yang mengkhawatirkan.
Namun
ada satu kejadian kecil yang masih membekas di ingatan saya. Saat itu
saya berkunjung ke salah satu mall terkemuka. Kami tiba di salah satu counter dan melihat-lihat. Saat itulah saya
menyadari bahwa ada seorang pramuniaga yang bukannya melayani customer malah
menatap saya dengan pandangan mencemooh. Bahkan saat saya lihat balik beberapa
kali bukannya berpaling dia malah tetap menatap saya demikian sebelum akhirnya
berpaling karena ada customer yang bertanya.
Pengalaman
kedua adalah saat berada di Filipina. Saat berada di counter imigrasi, pak
petugas yang lumayan ganteng tetiba bertanya,
“Are
you Muslim?
“Yes.”
(Sudah was was kalau ada apa-apa)
“Assalamualaikum.”
“Oh
walaikumsalam.”
Saya
pun sempat bingung. Emang jarang banget ya Muslim di Filipin? Kok kayaknya
seneng banget ketemu satu Muslim. Padahal menurut mbah gugel islam adalah agama
terbesar kedua. Barulah setelah berbincang dengan teman-teman Filipina saya
mengetahui bahwa terdapat stigma miring mengenai Muslim Filipina yang
kebanyakan bermukin di bagian selatan. Stigma ini muncul karena radikalisme yang berpusat di bagian selatan Filipina yang mayoritasnya adalah Muslim (yang
kemarin-kemarin ngikutin berita penculikan nelayan Indonesia oleh kelompok Abu
Sayaf, nah mereka salah satu biangnya) sehingga Muslim dipandang 'berbahaya'.
Di
Indonesia ini saya termasuk golongan mayoritas dari segi suku, ras, dan agama
sehingga jujur saja tidak pernah menerima olok-olok berkaitan dengan hal
tersebut. Namun hanya karena saya tidak mengalami, bukan berarti hal itu tidak ada. Sudah beberapa kali saya
mendapat cerita mengenai Perbedaan-phobia yang dialami teman
entah karena suku, ras ataupun agama.
Ada satu kalimat yang membuat saya malu sekaligus salut saat seorang
teman bercerita tentang Perbedaan-phobia yang dialaminya karena perbedaan agama. Dia berkata, "Tapi aku percaya kok ga semua (sebutan penganut agama) kayak
gitu”. Jleb. Tau kenapa ngejleb? Karena yang dia alami adalah hasil generalisasi stigma, sedangkan dia sendiri yang jadi objek tidak mengeneralisir kelompok pelaku.
Perbedaan-phobia yang saya alami memang bukan apa-apa. Tapi yang paling mengena adalah membayangkan saudara kita harus mengalami hal seperti itu, bahkan lebih parah dan lebih sering……………………………… Dan bagaimana jika kita yang mengalami.
Wassalam.
Perbedaan-phobia yang saya alami memang bukan apa-apa. Tapi yang paling mengena adalah membayangkan saudara kita harus mengalami hal seperti itu, bahkan lebih parah dan lebih sering……………………………… Dan bagaimana jika kita yang mengalami.
Wassalam.
Source here Kita Muslim di Indonesia benar-benar beruntung karena menjadi mayoritas di negara sendiri. Saat isu Islamophobia menyeruak d...